Natalius Pigai Kritik Presidential Threshold 20 Persen, Benarkah Langgar HAM?

Must Read
Tama Hasfian
Tama Hasfianhttps://news.medionesa.com
Jurnalis & copywriter berpengalaman di media online, ahli dalam SEO, berita terkini, dan konten kreatif dari sumber terpercaya yang menarik serta informatif.

medioNews – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai kembali menyoroti aturan presidential threshold 20%, yang menurutnya melanggar hak asasi manusia. Dalam kuliah umumnya di salah satu universitas di Kota Medan pada Jumat (14/3/2025), Pigai menekankan bahwa batasan ini membatasi hak politik warga negara untuk maju sebagai calon pemimpin.

Pigai berpendapat bahwa presidential threshold 20% justru mempersempit ruang demokrasi dan hanya memberi peluang kepada kelompok tertentu untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Perdebatan mengenai aturan ini telah lama berlangsung, dan kini semakin memanas dengan putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ambang batas tersebut. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut pernyataan Pigai, dampak presidential threshold terhadap demokrasi, serta keputusan MK terkait aturan ini.

Natalius Pigai: Presidential Threshold Batasi Hak Politik

Dalam kuliah umumnya, Natalius Pigai menyoroti bagaimana presidential threshold membatasi hak politik setiap individu untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Menurutnya, hak politik merupakan bagian dari HAM yang harus dijaga dalam demokrasi.

“Hak kedua adalah hak politik. Hak politik itu berkaitan dengan hubungan demokrasi dan HAM. Ada empat pilar demokrasi yang harus dijaga dalam konteks hak politik,” ujar Pigai, seperti dikutip dari detikSumut, Sabtu (15/3/2025).

Pigai menegaskan bahwa negara yang bermartabat adalah negara yang memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk memimpin tanpa harus terhambat oleh aturan yang membatasi ruang demokrasi.

“Negara yang bermartabat adalah yang memberikan kesempatan bagi orang-orang hebat untuk memimpin pemerintahan dan politik. Jika presidential threshold tetap dipertahankan, itu hanya menyisihkan sebagian besar individu dan memberikan kekuasaan hanya kepada segelintir elit politik,” tambahnya.

Mahkamah Konstitusi Hapus Presidential Threshold 20%

Setelah sekian lama menjadi perdebatan, Mahkamah Konstitusi akhirnya menghapus presidential threshold 20%, yang sebelumnya menjadi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Putusan ini dibacakan langsung oleh Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/1/2025).

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo dalam putusan MK.

Putusan ini diharapkan dapat membuka kesempatan lebih luas bagi setiap individu yang ingin maju sebagai calon presiden, tanpa harus bergantung pada dukungan partai politik besar.

Dampak Penghapusan Presidential Threshold bagi Demokrasi

Keputusan MK untuk menghapus presidential threshold membawa sejumlah dampak besar bagi sistem demokrasi Indonesia. Berikut beberapa pengaruh yang akan dirasakan:

1. Meningkatkan Pilihan Rakyat

Dengan dihapusnya aturan ini, rakyat memiliki lebih banyak pilihan dalam memilih pemimpin mereka. Tidak ada lagi hambatan bagi calon independen atau partai kecil untuk ikut serta dalam pemilu.

2. Mengurangi Oligarki Politik

Salah satu kritik terbesar terhadap presidential threshold adalah memperkuat oligarki politik. Dengan tidak adanya batasan ini, maka politik akan lebih terbuka dan adil bagi semua kandidat.

3. Mendorong Kompetisi yang Sehat

Sebelumnya, hanya kandidat dari partai besar yang memiliki peluang maju. Sekarang, kompetisi akan semakin terbuka, mendorong adu gagasan yang lebih beragam di kalangan calon presiden.

4. Menekan Politik Transaksional

Sebelumnya, partai kecil yang ingin mengusung calon presiden harus berkoalisi dengan partai besar, sering kali dengan kompromi politik. Dengan aturan baru ini, setiap partai atau individu bisa langsung mencalonkan diri tanpa perlu negosiasi yang rumit.

Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Demokrasi

Natalius Pigai Presidential Threshold HAM

Selain mengkritik presidential threshold, Natalius Pigai juga menyoroti isu kebebasan berekspresi yang semakin menyempit di Indonesia. Ia menekankan bahwa demokrasi yang sehat harus memberikan ruang bagi setiap individu untuk menyuarakan pendapatnya tanpa tekanan.

“Kebebasan berekspresi adalah bagian fundamental dari demokrasi. Tanpa itu, kita tidak bisa berbicara tentang sistem yang benar-benar demokratis,” tegas Pigai.

Kasus-kasus di mana individu dikriminalisasi karena mengutarakan pendapatnya semakin meningkat, dan ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam menjaga sistem demokrasi yang sehat.

Natalius Pigai menilai bahwa presidential threshold 20% melanggar HAM karena membatasi hak politik individu untuk maju sebagai pemimpin. Aturan ini telah lama dikritik oleh berbagai pihak karena mempersempit ruang demokrasi dan memperkuat oligarki politik di Indonesia.

Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus presidential threshold, sistem demokrasi Indonesia kini lebih terbuka. Keputusan ini diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam sistem pemilu, memberikan kesempatan lebih luas bagi individu yang ingin maju sebagai pemimpin, serta meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Namun, tantangan lain yang masih harus dihadapi adalah kebebasan berekspresi, yang masih perlu dijaga agar tidak tergerus oleh regulasi yang membatasi hak-hak fundamental warga negara.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Jadwal Film Horor RCTI Lebaran 2025 Siap Bikin Malammu Mencekam dan Seru

Libur Lebaran 2025 menjadi salah satu momen yang paling dinantikan masyarakat Indonesia. Selain mudik dan berkumpul bersama keluarga, tradisi...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img